Dari Sekutu Jadi Rival: Kronologi Panasnya Jokowi vs PDIP

Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Puan Maharani baru-baru ini menanggapi hubungan yang semakin tegang antara partainya dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dalam keterangannya, Puan meminta semua pihak untuk menahan diri dan mendinginkan suasana, terlebih di bulan suci Ramadan. “Di bulan Ramadan ini, marilah kita semua menahan diri, mendinginkan suasana, dan tidak memperkeruh keadaan,” ujarnya di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (17/3/2025).

Ketegangan antara PDIP dan Jokowi bukanlah hal baru. Hubungan keduanya mulai merenggang menjelang Pemilu 2024, setelah Jokowi dinilai lebih mendukung pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka ketimbang calon yang diusung PDIP, Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Awalnya, PDIP menetapkan Ganjar sebagai calon presiden pada April 2023 tanpa melibatkan Jokowi dalam pengambilan keputusan, yang menjadi sinyal awal timbulnya ketidakpuasan.

Ketika Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, maju sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto dengan dukungan Koalisi Indonesia Maju, hubungan antara PDIP dan Jokowi semakin merenggang. Gibran yang saat itu juga merupakan kader PDIP, dituding menggunakan kekuasaan ayah dan pamannya untuk mendapatkan posisinya. Langkah ini dikritik sebagai bentuk pembangkangan terhadap PDIP, yang membawanya berhadapan dengan kandidat dari koalisi yang didukung Jokowi.

Kritikan terhadap kebijakan Jokowi juga semakin kencang dari PDIP, terutama mengenai netralitas pemilu dan tudingan intervensi kekuasaan dalam politik. Beberapa elite PDIP, termasuk Sekjen Hasto Kristiyanto, mengungkapkan ketidakpuasan terhadap arah politik Jokowi yang dianggap semakin menjauh dari partai. Di sisi lain, para pendukung Jokowi merespons dengan anggapan bahwa PDIP terlalu dominan dalam mengatur kebijakan politik nasional.

Meski dalam situasi yang tegang, Puan menekankan pentingnya menjaga persatuan. “Kita harus tetap menjaga persatuan dan kesatuan. Jangan sampai perbedaan politik justru merugikan masyarakat luas,” ungkapnya. Pendapat ini mencerminkan kesadaran PDIP akan dampak negatif dari perseteruan yang berkepanjangan.

Pengamat politik Yusak Farhan memperkirakan, perseteruan ini akan memasuki babak baru yang lebih intens. Ia mengungkapkan, “Melihat eskalasi yang terjadi, perang terbuka antara Jokowi dan PDIP kemungkinan akan terus berlanjut.” Ia juga memperingatkan tentang kemungkinan terbongkarnya kasus-kasus di masa depan yang dapat mengguncang peta politik Indonesia.

Dalam skenario tersebut, Prabowo Subianto, yang berpeluang menjadi presiden mendatang, dihadapkan pada tekanan dari dua kekuatan politik yang saling berseteru. “Jika Jokowi dan PDIP benar-benar saling membuka borok, maka stabilitas politik pemerintahan berikutnya bisa terganggu,” tandas Yusak.

Jika ketegangan ini terus berlanjut, dampaknya bisa meluas ke dinamika di parlemen. PDIP, sebagai partai terbesar di DPR, memiliki pengaruh besar dalam perumusan kebijakan. Dalam konteks ini, ada kemungkinan PDIP akan mengambil sikap oposisi yang lebih keras terhadap pemerintah mendatang.

Hingga saat ini, belum ada indikasi konkret dari kedua pihak untuk meredakan situasi. Beberapa elite politik menyarankan agar dilakukan upaya rekonsiliasi untuk menghindari polarisasi yang lebih mendalam di masyarakat. Namun, dengan dinamika yang ada, nampaknya kecil kemungkinan bagi PDIP dan Jokowi untuk segera mencapai kesepakatan.

Dengan berlanjutnya konflik ini, publik semakin antusias menantikan langkah kedua belah pihak. Apakah mereka akan menemukan titik temu yang dapat meredakan ketegangan, atau justru pertarungan politik ini akan semakin sengit? Situasi ini tidak hanya mempengaruhi hubungan antar partai, tetapi juga berpotensi berdampak besar pada stabilitas pemerintahan yang akan datang.

Back to top button