
Film bertema politik seringkali menjelajahi isu-isu seperti pemilihan presiden atau pemberontakan. Namun, film “Conclave” menawarkan perspektif yang berbeda dengan mengangkat kisah pemilihan Paus, pemimpin tertinggi Gereja Katolik sedunia. Berdasarkan novel karya Robert Harris yang diterbitkan pada 2016, film ini menampilkan intrik dan drama yang terjadi di balik dinding Gereja Vatikan.
Dibintangi oleh aktor-aktor ternama seperti Ralph Fiennes, Stanley Tucci, John Lithgow, Lucian Msamati, dan Isabella Rossellini, “Conclave” berfokus pada karakter utama, Kardinal Lawrence yang diperankan oleh Fiennes. Lawrence adalah seorang pendeta yang menghadapi krisis keyakinan, tetapi tetap setia kepada tugasnya di gereja. Dalam perannya sebagai dekaan College of Cardinals, Lawrence harus memimpin pemilihan Paus yang baru, setelah kematian paus sebelumnya.
Proses pemilihan Paus berlangsung dalam konklaf, yang berasal dari kata Latin mengandung arti “ruangan yang terkunci”. Selama konklaf, para kardinal diasingkan hingga momen pengumuman “Habemus papam” atau “Kita memiliki paus.” Dalam suasana yang tegang ini, berbagai rivalitas dan konflik di antara para kardinal mulai terungkap. Film ini dengan cerdas menggambarkan ketegangan yang terjadi di balik pemilihan, menghadirkan drama yang tidak biasa di dalam institusi keagamaan yang sering dianggap kaku.
Kardinal Thomas, yang digambarkan sebagai sosok penuh toleransi dan keraguan, mulai terobsesi untuk mempengaruhi hasil pemilihan ketika ia melihat namanya menjadi salah satu kandidat. Dalam pencariannya untuk memegang posisi tersebut, ia menjalin aliansi dengan Aldo Bellini yang diperankan oleh Stanley Tucci, seorang kandidat progresif. Bellini menginginkan keterlibatan lebih besar Gereja dengan dunia modern, sementara mereka juga harus menghadapi Goffredo Tedesco, yang memiliki pandangan konservatif dan percaya bahwa Gereja telah menyimpang dari jalurnya.
Selain itu, ada karakter lain seperti Joseph Tremblay, seorang politikus yang tampak rendah hati namun memiliki ambisi besar, serta Joshua Adeyemi, kardinal karismatik dari Nigeria yang berpotensi menjadi paus kulit hitam pertama. Pertarungan untuk mendapatkan suara para kardinal menjadi semakin rumit dengan kemunculan berbagai ambisi dan ideologi yang berbeda.
Ketegangan dalam “Conclave” semakin meningkat seiring cerita yang mengungkap latar belakang masing-masing calon Paus. Penggambaran suasana yang terkurung di dalam Gereja Vatikan, ditambah dengan elemen terorisme, menciptakan atmosfer yang semakin mendebarkan. Penonton akan merasakan perjalanan emosional para karakter, ditampilkan secara apik dengan sinematografi yang menawan dan skoring musik yang menegangkan.
Film ini juga menyuguhkan twist yang mengejutkan di akhir, mempertahankan minat penonton hingga detik terakhir. Dengan semua elemen ini, “Conclave” mengajak penonton untuk menyelami kompleksitas pemilihan Paus, yang ternyata jauh lebih mendalam dan dramatis daripada yang terlihat di permukaan.
Setelah penayangan perdana, “Conclave” diharapkan dapat menjadi pembuka wawasan bagi banyak orang tentang dinamika di balik pemilihan seorang Paus. Film ini dijadwalkan tayang di bioskop-bioskop pada tanggal 26 Februari 2025, menjadi salah satu yang patut dinantikan oleh pecinta film dan pengamat isu-isu keagamaan. Dengan akting solid dan narasi yang kuat, “Conclave” berpotensi menjadi film yang tak hanya menghibur, tetapi juga memberikan refleksi mengenai kekuatan, kepercayaan, dan konsekuensi dari pemilihan pemimpin dalam konteks spiritual.