
Ilmuwan dari perusahaan bioteknologi Colossal Biosciences di Texas baru-baru ini mengklaim bahwa mereka telah berhasil menghidupkan kembali spesies punah yang dikenal sebagai serigala dire atau dire wolf. Dalam pengumuman yang disampaikan pada 7 April, mereka menginformasikan bahwa tiga anak serigala yang diberi nama Romulus, Remus, dan Khaleesi telah lahir melalui proses rekayasa genetik. Namun, klaim ini datang dengan kontroversi dan kritik dari komunitas ilmiah.
Serigala dire, yang dikenal sebagai hewan peliharaan klan Stark dalam serial terkenal Game of Thrones, punah ribuan tahun yang lalu dan menjadi subjek berbagai penelitian. Menurut Colossal, mereka menyebut hasil penelitian ini sebagai “hewan pertama di dunia yang berhasil didegenerasi”. Meskipun demikian, pengamatan para ahli menunjukkan bahwa ketiga serigala yang lahir tersebut lebih mirip dengan serigala abu-abu, bukan serigala dire asli.
Philip Seddon, seorang ahli zoologi dari Universitas Otago di Selandia Baru, menyatakan kepada BBC bahwa klaim degenerasi tersebut tidak sepenuhnya valid. Ia menjelaskan bahwa hasil rekayasa genetik Colossal cenderung menghasilkan serigala abu-abu yang tentu saja dimodifikasi, tetapi tidak mencapai bentuk hibrida serigala dire yang diharapkan. “Serigala tersebut lebih cenderung merupakan serigala abu-abu yang dimodifikasi secara genetik, bukan serigala dire dalam arti yang sebenarnya,” jelasnya.
Perbedaan antara serigala dire dan serigala abu-abu tidak hanya terletak pada penampilan fisiknya, tetapi juga dalam aspek biologis yang lebih dalam. Ahli paleogenetika, Dr. Nic Rawlence dari Universitas Otago, menambahkan bahwa DNA serigala dire yang diperoleh dari fosil-fosil yang ada terlalu rusak untuk bisa direplikasi atau dikloning secara biologis. “DNA purba itu seperti jika Anda memasukkan DNA segar ke dalam oven bersuhu 500 derajat semalaman,” ungkapnya.
Dalam konteks ini, hasil rekayasa genetik yang dilakukan oleh Colossal dapat menghasilkan hewan dengan beberapa karakteristik serigala dire, seperti tengkorak yang lebih besar atau bulu berwarna putih, namun tetap saja itu tidak mengubah fakta bahwa mereka lebih merupakan hibrida dari serigala abu-abu. Terlepas dari klaim ambisius itu, komunitas ilmiah meminta agar kita tidak terjebak pada dialog glamour tentang “menghidupkan kembali” serigala dire tanpa menghadapi kenyataan ilmiah yang mendasarinya.
Pakar genetik dan zoologi berpendapat bahwa memproduksi hibrida seperti ini tidak sama dengan menghidupkan kembali spesies yang telah punah secara biologis. Sebuah pendekatan yang lebih terukur dan berbasis data dibutuhkan untuk memahami karakteristik spesies punah dan bagaimana rekayasa genetik dapat memainkan peran di dalamnya.
Peredaran berita mengenai rekayasa genetik dan upaya “de-extinction” semakin marak dalam beberapa tahun terakhir, dan perusahaan-perusahaan seperti Colossal Biosciences menjadi sorotan publik, baik untuk klaim yang berani maupun metodologi mereka yang masih dipertanyakan. Meskipun dalam hal ini Colossal berhasil menciptakan hewan baru, tantangan terbesar tetaplah bagaimana memahami dan menghargai biodiversitas yang ada dengan lebih baik, alih-alih berfokus pada mimpi yang mungkin belum sepenuhnya siap untuk direalisasikan.
Dengan demikian, meskipun kelahiran ketiga anak serigala ini menimbulkan diskusi yang hangat, kita harus bersikap skeptis dan kritis terhadap klaim yang terlalu tinggi terkait dengan rekayasa genetik untuk mengembalikan spesies yang telah lama punah.