
Bursa Asia-Pasifik mengalami gejolak yang signifikan pada perdagangan Rabu, 12 Maret 2025. Meski sebagian besar bursa dibuka dengan penguatan, ketidakpastian yang ditimbulkan oleh rencana tarif impor baru yang diumumkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengakibatkan kekhawatiran resesi di seluruh kawasan. Ketegangan ini jelas tercermin dari pergerakan indeks-indeks utama di bursa Asia.
White House secara resmi mengumumkan akan menerapkan bea masuk sebesar 25 persen untuk impor baja dan aluminium dari Kanada serta negara-negara lainnya, yang mulai berlaku pada hari yang sama. Meski Trump menyatakan telah membatalakan rencana untuk meningkatkan tarif tersebut hingga 50 persen, efek dari pengumuman ini telah menyebabkan kepanikan di pasar.
Di Jepang, indeks Nikkei 225 tampak datar pada awal perdagangan, sementara indeks Topix mengalami kenaikan tipis sebesar 0,45 persen, pulih dari penurunan yang terjadi pada sesi sebelumnya. Menariknya, saham produsen otomotif Nissan mencatat lonjakan sebesar 0,84 persen setelah pengunduran diri CEO Makoto Uchida diumumkan, yang dijadwalkan efektif pada 1 April 2025 mendatang.
Melihat ke bursa Korea Selatan, indeks Kospi mencatatkan penguatan sebesar 1,06 persen, didukung oleh kenaikan indeks Kosdaq sebesar 1,48 persen. Namun, di Australia, indeks S&P/ASX 200 mengalami penurunan yang cukup signifikan, sebesar 1,41 persen. Sementara itu, indeks Hang Seng di Hong Kong juga mengalami pembukaan lebih rendah, turun menjadi 23.765 dari 23.782,14.
Kekhawatiran akan dampak psikologis dari ketidakpastian perdagangan ini juga terlihat jelas di Wall Street, di mana indeks S&P 500 ditutup merosot sebesar 0,76 persen pada level 5.572,07. Penurunan ini terjadi setelah Trump mengumumkan di platform Truth Social mengenai keputusan untuk menggandakan tarif bea masuk, memicu aksi jual besar-besaran di pasar saham AS. Baik Indeks Dow Jones Industrial Average maupun Nasdaq Composite juga mengikuti tren negatif, mengalami penurunan masing-masing 1,14 persen dan 0,18 persen.
Secara internasional, kondisi ini diprediksi akan berlanjut, terutama menjelang rilis data inflasi India yang diperkirakan akan muncul dalam waktu dekat. Para ekonom memperkirakan inflasi di negara tersebut akan mengalami penurunan dari 5,68 persen pada bulan Januari menjadi 3,98 persen pada bulan Februari.
Dalam konteks lebih besar, ketidakpastian mengenai tarif ini berpotensi untuk mengguncang perekonomian global, terlebih lagi bagi negara-negara yang bergantung pada ekspor barang ke AS. Ketidaktentuan kebijakan perdagangan tidak hanya mengancam pertumbuhan ekonomi tetapi juga menambah menumpuknya kekhawatiran akan resesi yang perlahan-lahan menghampiri negara adikuasa tersebut.
Perlu dicatat, pengumuman bahwa tarif akan dikenakan kembali pada baja dan aluminium Kanada sebagai balasan atas biaya tambahan yang dikenakan oleh Perdana Menteri Ontario, Doug Ford, mengindikasikan bahwa ketegangan antara kedua negara bisa semakin memanas. Hal ini telah mendorong para investor untuk lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan perdagangan, terutama di sektor yang berkaitan langsung dengan barang-barang yang terkena tarif.
Seiring dengan berjalannya waktu, investor di seluruh dunia akan tetap memantau perkembangan ini dengan seksama. Para pelaku pasar perlu bersiap menghadapi kemungkinan fluktuasi yang lebih besar seiring ketidakpastian yang menghantui kebijakan ekonomi global serta berfokus pada langkah selanjutnya yang akan diambil oleh pemerintah AS dalam menangani situasi ini.