Nasional

BGN: Serangga Sebagai Menu Bergizi Gratis di Beberapa Daerah

Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, mengungkapkan bahwa serangga memiliki potensi untuk menjadi bagian dari menu Makanan Bergizi Gratis (MBG) di berbagai daerah di Indonesia. Pernyataan tersebut mengemuka di tengah upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan gizi masyarakat, mengingat tradisi lokal yang telah ada dalam mengonsumsi serangga sebagai sumber protein.

Dadan menjelaskan, banyak masyarakat di wilayah tertentu, seperti di Gunung Kidul yang mengonsumsi belalang dan di Papua yang mengandalkan ulat sagu sebagai makanan sehari-hari, sudah terbiasa dengan praktik ini. “Di beberapa daerah, masyarakat sudah biasa makan serangga. Ini bisa dijadikan opsi dalam program MBG,” ujarnya saat konferensi pers di Jakarta Selatan.

Program MBG bertujuan untuk memberikan akses makanan yang bergizi dan seimbang kepada masyarakat. Dalam hal ini, serangga dipertimbangkan sebagai sumber protein alternatif yang dapat membantu memenuhi kebutuhan gizi. Dadan menerangkan bahwa jenis serangga tertentu telah terbukti layak dikonsumsi dan bahkan ada yang telah menjadi komoditas komersial. “Snack berbahan jangkrik, misalnya, sekarang sudah banyak dijual dan menjadi pilihan masyarakat,” tambahnya.

Namun, Dadan menekankan bahwa serangga hanya akan dimasukkan dalam program MBG di wilayah yang memiliki tradisi makan serangga yang kuat. “Kami tidak menerapkan satu standar untuk semua. Setiap daerah akan menyesuaikan diri dengan potensi lokal, kebiasaan, dan ketersediaan bahan pangan,” ungkapnya. Pendekatan ini bertujuan untuk menggali kekayaan pangan lokal dan memperhatikan keberagaman gizi yang terjadi di Indonesia.

Keragaman sumber protein dan karbohidrat menjadi hal yang sangat penting. Menurut Dadan, di setiap daerah, sumber protein dalam menu bergizi akan tergantung pada ketersediaan bahan makanan. Misalnya, di daerah yang kaya akan telur, telur akan menjadi makanan pokok, sedangkan di daerah pesisir yang berlimpah dengan ikan, ikan akan menjadi pilihan utama.

“Di wilayah seperti Halmahera Barat, masyarakat lebih memilih singkong dan pisang rebus sebagai sumber karbohidrat utama. Ini semua adalah contoh diversifikasi pangan yang perlu diakomodasi,” jelasnya, menegaskan bahwa pendekatan lokal berbasis kebiasaan adalah kunci keberhasilan program ini.

Dadan berharap melalui kebijakan yang fleksibel ini, masyarakat dapat lebih memahami pentingnya diversifikasi pangan, yang tidak hanya memperkaya pola makan mereka tetapi juga memaksimalkan pemanfaatan sumber daya lokal secara berkelanjutan. Dengan demikian, program MBG dapat memenuhi kebutuhan gizi masyarakat yang variatif, tanpa menyalahi aturan budaya di masing-masing daerah.

Kemampuan untuk memasukkan serangga ke dalam menu lokal merupakan langkah strategis yang dapat memberikan dampak signifikan terhadap masalah gizi di Indonesia. Selain itu, langkah ini berpotensi untuk mempromosikan kesadaran akan pentingnya keberagaman konsumsi pangan, serta mendorong masyarakat untuk lebih menghargai dan memanfaatkan sumber daya lokal yang ada di sekitar mereka.

Dengan upaya ini, BGN tidak hanya berfokus pada peningkatan gizi, tetapi juga pada pengembangan ekonomi lokal, yang dapat membantu mengurangi angka kemiskinan dan menciptakan lingkungan yang lebih berkelanjutan dalam menghadapi berbagai tantangan di masa depan.

Rizky Pratama adalah seorang penulis di situs berita octopus.co.id. Octopus adalah platform smart media yang menghadirkan berbagai informasi berita dengan gaya penyajian yang sederhana, akurat, cepat, dan terpercaya.

Berita Terkait

Back to top button