
Film “Road to Resilience” berhasil menarik perhatian publik dengan mengangkat isu sensitif mengenai Warga Negara Indonesia (WNI) eks ISIS yang terjebak dalam konflik Suriah. Dalam tayangan ini, penonton diajak untuk melihat sisi lain dari perjalanan hidup para individu yang terlibat, menyoroti kompleksitas alasan yang membawa mereka ke sana. Film ini merupakan sebuah dokumentasi perjalanan yang sangat emosional, di mana tokoh utama, Febri, menunjukkan bahwa perginya ia ke Suriah bukan semata-mata karena ideologi ekstrem, tetapi lebih kepada perasaan tanggung jawab kepada keluarganya.
Menurut Direktur Kreasi Prasasti Perdamaian Noor Huda Ismail, tidak semua WNI yang berangkat ke Suriah hanya terpengaruh oleh doktrin ideologi radikal. Dia berpendapat bahwa pemahaman yang lebih mendalam diperlukan untuk melihat bahwa banyak faktor yang berkontribusi kepada keputusan tersebut. Dalam film ini, penonton dikenalkan dengan karakter yang tidak hanya dewasa, tetapi juga perempuan dan anak-anak yang menjadi korban dari ideologi orang tua mereka. “Jangan ada narasi tunggal. Alasan ke sana macammacam,” ungkap Huda dalam sebuah acara bedah film.
Di dalam film tersebut, perjalanan Febri dimulai dengan penggambaran yang lebih luas dari perang saudara di Suriah dan kebangkitan kelompok ISIS, yang menarik perhatian ribuan orang, termasuk individu dari Indonesia. Disajikan dengan latar belakang yang kuat, penonton dihadapkan pada kenyataan pahit ketika Febri dan rombongannya kembali ke Indonesia dan disambut dengan stigma negatif dari masyarakat. Mereka dianggap sebagai pengkhianat, yang membuat reintegrasi sosial menjadi tantangan tersendiri bagi mantan pelaku dan keluarganya.
Selama satu bulan, Febri dan keluarganya harus menjalani pelatihan dan interogasi oleh pihak berwenang seperti BNPT dan Densus 88. Meskipun menghadapi berbagai rintangan, Febri menunjukkan semangat untuk memulai hidup baru. “Saya ingin berbakti kepada orangtua. Ibu adalah segalanya,” ungkapnya, mencerminkan latar belakang emosional yang mendalam dari keputusannya.
Produser film, Ani Ema Susanti, menjelaskan bahwa proses produksi film ini memakan waktu hingga tujuh tahun, dalam upaya mendokumentasikan realitas yang dihadapi Febri dan keluarganya. Ia berharap film tersebut dapat memberikan pemahaman yang lebih bagi masyarakat tentang perjalanan yang dilalui oleh WNI eks ISIS serta tantangan repatriasi yang dihadapi mereka. “Kami mendokumentasikan repatriasi Febri dan keluarga, bagaimana cara mereka bisa pulang dari kamp di Suriah,” ujar Ani.
Sementara itu, Pakar Komunikasi Universitas Padjadjaran Ari Agung Prastowo menekankan pentingnya komunikasi yang baik dalam menyampaikan isu seperti terorisme kepada publik. Menurutnya, film ini menghadirkan pesan yang tepat mengenai kegagalan komunikasi yang terjadi yang membuat Febri tidak mampu menjelaskan alasan dibalik keputusannya untuk pergi ke Suriah. “Ini perlu disampaikan bahwa kepergian mereka bukan hanya permasalahan ideologi, tetapi juga tanggung jawab keluarga,” terangnya.
Dari sisi pemerintah, Kasubdit Kerjasama Regional BNPT RI Yaenurendra Hasmoro Aryo Putro mengungkapkan adanya pemantauan terhadap WNI yang dipulangkan dari Suriah. Hingga saat ini, masih terdapat sekitar 400 WNI yang tertahan di Suriah dan proses pemulangan mereka menghadapi banyak tantangan, termasuk stigma dari masyarakat. “Kondisi di sana jauh dari kata aman dan kami berupaya agar mereka bisa kembali ke Indonesia,” ujarnya.
Melalui film “Road to Resilience,” diharapkan masyarakat mendapatkan pemahaman yang lebih luas dan empati terhadap para mantan anggota eks ISIS. Film ini bukan hanya sekadar dokumentasi, tetapi juga sebuah edukasi tentang betapa kompleksnya persoalan yang dihadapi setiap individu yang terlibat dalam konflik, serta pentingnya memberi mereka kesempatan kedua dalam masyarakat.