Banjir Stimulus: Daya Beli Melonjak Jelang Lebaran?

Pemerintah Indonesia meluncurkan berbagai stimulus ekonomi untuk meningkatkan daya beli masyarakat menjelang Ramadan dan Lebaran 2025. Kebijakan ini bertujuan tidak hanya untuk mendorong konsumsi masyarakat tetapi juga untuk menopang pertumbuhan ekonomi nasional. Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bustanul Arifin, mempertanyakan efektivitas dari stimulus yang diberikan, terutama dalam konteks deflasi yang terjadi di sejumlah sektor.

Inflasi dan deflasi memiliki dampak signifikan pada daya beli masyarakat. Bustanul menegaskan bahwa meskipun tingkat deflasi yang rendah bisa jadi terlihat positif, penurunan secara berturut-turut pada harga barang dan jasa justru dapat menjadi indikasi lemahnya daya beli masyarakat. Dia menyebutkan, bukan cuma angka, yang lebih penting adalah volume penjualan yang mampu mencerminkan kondisi aktual di lapangan.

“Deflasi tidak selalu berarti kita dalam kondisi baik. Kita harus memantau volume penjualan dan faktor-faktor lain yang ikut berkontribusi,” ujar Bustanul saat diwawancarai di program ‘Investor Daily Talk’, baru-baru ini. Dalam keadaan seperti ini, penting bagi pemerintah untuk terus memantau dampak dari stimulus yang diberikan.

Momentum Idulfitri yang biasanya mendorong konsumi, diharapkan dapat membantu pemulihan daya beli masyarakat. Dengan pengaruh stimulus pemerintah, ada harapan bahwa daya beli masyarakat bisa menguat pada kuartal pertama tahun 2025. Apabila skenario pertumbuhan ekonomi dapat terjaga, maka proyeksi ekonomi pada kuartal berikutnya akan lebih optimis.

Namun, di lapangan, sejumlah harga komoditas menunjukkan kenaikan yang signifikan. Meski ada stimulus pemerintah, tekanan inflasi pada barang-barang tertentu, seperti daging sapi, bawang merah, dan bawang putih, tetap tinggi. Hal ini berpotensi menghambat pemulihan daya beli masyarakat. Bustanul mencatat bahwa tingginya harga daging sapi misalnya, tidak lepas dari isu pasokan dan permintaan, yang telah menciptakan ekspektasi pasar yang tinggi.

“Kenaikan harga ini menjadi tantangan tersendiri. Fokus kita adalah untuk memastikan masyarakat dapat berbelanja dengan baik selama Ramadan ini. Jika masyarakat tidak bisa membeli barang-barang kebutuhan pokok, bagaimana konsumsi dapat meningkat?” tambahnya.

Pentingnya peningkatan konsumsi masyarakat dijelaskan Bustanul sebagai kunci terhadap pertumbuhan ekonomi dalam kuartal pertama 2025. Jika masyarakat secara luas melaksanakan belanja dan konsumsi dengan baik, besar kemungkinan ekonomi akan mengalami perbaikan.

Untuk mengukur dampak dari stimulus yang diberikan, pemerintah juga harus memperhatikan sektor-sektor yang vital. Pengeluaran rumah tangga, sektor perdagangan, dan industri menjadi pendorong utama dalam pertumbuhan ekonomi. Apabila daya beli masyarakat tetap kuat dan transaksi ekonomi berjalan dengan lancar, maka perekonomian pada kuartal pertama berpotensi mencatatkan pertumbuhan yang positif.

Dalam konteks ini, pemerintah perlu membuat langkah-langkah strategis dengan mempertimbangkan komoditas yang sering menjadi sorotan. Pemberian bantuan langsung tunai, subsidi, dan dukungan terhadap UMKM bisa menjadi strategi yang efektif dalam meningkatkan daya beli. Selain itu, penegakan hukum terhadap spekulan harga pun penting dilakukan untuk menjaga kestabilan pasar.

Sebagai penutup, stimulus ekonomi dalam konteks persiapan Ramadan dan Lebaran memegang peranan kunci. Dengan ketertarikan masyarakat dalam berbelanja saat bulan puasa, pemerintah diharapkan dapat menjaga momentum ini agar dapat berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi. Namun, tantangan yang dihadapi, baik dari inflasi maupun harga-harga komoditas yang tidak stabil, harus dikelola dengan bijak agar daya beli masyarakat benar-benar meningkat.

Berita Terkait

Back to top button