
Ray Sahetapy, aktor senior Indonesia, meninggal dunia pada 1 April 2025, dan keluarganya menghadapi dilema mengenai pemenuhan wasiat terakhirnya. Di saat-saat akhir hidupnya, Ray mengungkapkan keinginannya untuk dimakamkan di kampung halamannya, Desa Sibowi, Sulawesi Tengah. Namun, keinginan tersebut tidak sepenuhnya dapat dipenuhi oleh keluarganya, yang memilih untuk memakamkannya di Jakarta.
Putra bungsu Ray, Muhammad Raya Sahetapy, menegaskan bahwa pesan tersebut disampaikan berulang kali oleh ayahnya sebelum meninggal. “Ayah sempat berpesan, ingin dimakamkan di kuburan keluarga di Desa Sibowi, Sulawesi Tengah,” ungkap Muhammad Raya. Sementara itu, pamannya, Charly Sahetapy, menjelaskan bahwa keluarga Sahetapy memang memiliki pemakaman keluarga di kampung halaman. Ray selalu berharap dapat kembali dan beristirahat di tempat tersebut, bersama kakek, nenek, serta orangtuanya.
Namun, ada alasan kuat di balik keputusan keluarga untuk memakamkan Ray di Jakarta. Menurut Charly, pendekatan pemakaman harus mempertimbangkan ajaran agama Islam yang dianut oleh Ray. “Dia selalu bilang, pokoknya nanti, saya akan kembali ke sana,” kata Charly, menyoroti pengharapan Ray untuk dikuburkan sesuai dengan adat dan keyakinannya.
Keputusan itu tidak mudah, terutama bagi anak-anak Ray. Mereka ingin tetap dekat dengan sang ayah, sehingga akhirnya memilih lokasi pemakaman di Taman Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir, Bintaro, pada 4 Maret 2025. “Karena mereka mungkin juga ingin bisa membersihkan kuburan bapaknya ya. Jadi, kalau anak-anak yang minta silakan saja,” ungkap Charly, menambahkan bahwa keinginan anak-anaknya untuk merawat kuburan di Jakarta sangat dipahami.
Meski demikian, Raya Sahetapy menegaskan harapannya untuk memindahkan makam ayahnya ke kampung halaman, Desa Sibowi, dalam waktu 1 atau 2 tahun setelah pemakaman pertama. “Setelah 1 atau 2 tahun, nanti kami pikirkan untuk memindahkan makam ayah ke Sibowi,” ucap Raya, menunjukkan komitmen untuk memenuhi wasiat Ray, meskipun tidak serta merta dilaksanakan.
Ray Sahetapy, yang dikenal berkat aktingnya dalam berbagai film, seperti “The Raid,” menghadap Sang Pencipta setelah berjuang melawan diabetes dan stroke yang dideritanya. Kesehatan Ray menurun drastis di akhir hayatnya, sampai membuatnya sulit bergerak dan kehilangan semangat hidup. Sekitar satu jam sebelum meninggal, ia berada dalam kondisi kritis, menandai akhir dari perjalanan hidup seorang aktor yang telah menghibur banyak orang.
Keluarga Ray Sahetapy berupaya untuk menjaga ingatan dan warisan sang ayah, serta berusaha menjalani harapan-harapannya, meskipun dalam konteks yang tidak ideal. Keputusan mereka mencerminkan betapa kompleksnya masalah pemakaman, yang sering melibatkan pertimbangan agama, tradisi, dan keinginan, terutama dalam menghadapi kehilangan orang tercinta.
Dengan kondisi kesehatan yang terus menurun, Ray Sahetapy meninggalkan dunia ini dengan sejumlah pencapaian dalam kariernya. Pengorbanan dan cinta keluarganya menjadi pengingat akan kedekatan yang tidak hanya terjalin di antara mereka, tetapi juga dengan nilai-nilai yang dianut dalam hidupnya. Keputusan mengenai tempat peristirahatan terakhirnya mencerminkan perjalanan hidup yang harus dihadapi setiap individu, di mana harapan dan kenyataan kadang tidak sejalan.