
Pasar saham Indonesia mengalami penurunan tajam setelah sejumlah institusi investasi global, termasuk Morgan Stanley dan Goldman Sachs, secara serentak memberikan peringatan mengenai kondisi ekonomi negara tersebut. Penurunan ini mengakibatkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi sebesar 0,91 persen, dan sejumlah saham Indonesia mengalami penurunan peringkat.
Morgan Stanley mengumumkan bahwa mereka menurunkan peringkat saham Indonesia dari posisi ‘equal-weight’ (EW) menjadi ‘underweight’ (UW). Dengan penilaian ini, Morgan Stanley memperkirakan bahwa emiten asal Indonesia akan berkinerja lebih buruk dibandingkan dengan rata-rata saham di sektor yang sama. Peringatan ini menjadi sinyal bagi investor mengenai kemungkinan pengembalian investasi yang lebih rendah.
Hal serupa juga disampaikan oleh Goldman Sachs, yang menurunkan rating saham dari ‘overweight’ menjadi ‘market weight’. Lembaga ini menyoroti lemahnya ekonomi domestik yang membuat investor asing harus berpikir dua kali sebelum menanamkan modal di Indonesia. Contoh konkret dari masalah ini dapat dilihat dari keputusan Tesla untuk membatalkan rencana pembangunan pabrik kendaraan listrik di Karawang dan kesulitan yang dialami Apple dalam negosiasi dengan pemerintah Indonesia terkait pembangunan pabrik.
Goldman Sachs juga mencatat bahwa beberapa faktor yang membuat investor enggan berinvestasi adalah dampak dari pembentukan Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Agata Nusantara atau Danantara. Dalam pandangan mereka, rencana pembangunan tiga juta rumah di Indonesia dapat berkontribusi terhadap defisit anggaran yang kini mencapai 2,9 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), mendekati ambang batas 3 persen yang ditetapkan oleh undang-undang. Lembaga riset keuangan internasional, BMI, juga memprediksi bahwa defisit APBN tahun ini bisa menyentuh batas tersebut, akibat ketidakmampuan pemerintah untuk memperluas sumber pendapatan pajak.
Lembaga pemeringkat kredit Fitch juga memberikan catatan mengenai dampak pembentukan Danantara terhadap keuangan negara, dengan menilai bahwa keberadaan Danantara dapat mengurangi stabilitas ekonomi meskipun ada potensi pertumbuhan PDB yang bisa mencapai 5 persen pada tahun 2025.
Meski demikian, Bank OCBC dari Singapura memprediksi bahwa pertumbuhan PDB Indonesia di kuartal I 2025 hanya akan mencapai 4,8 persen. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada harapan pertumbuhan, kondisi ekonomi yang ada saat ini berpotensi memperburuk kinerja PDB.
Satu lagi data yang mengkhawatirkan datang dari survei yang dilakukan oleh Bloomberg yang menunjukkan bahwa defisit fiskal Indonesia diperkirakan akan melebar menjadi 2,6 persen dari PDB pada kuartal I 2025, dan diperkirakan meningkat menjadi 2,9 persen pada kuartal II 2025 jika tidak ditangani dengan tepat.
Dengan berbagai tekanan dari lembaga-lembaga investasi global dan data ekonomi yang menunjukkan tren negatif, eksportasi dan tingkat investasi asing di Indonesia tampak terancam. Kepastian dan kebijakan yang lebih transaparan diperlukan untuk meredakan kekhawatiran investor guna mendorong kembali pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Para pelaku ekonomi dan pemerintah diharapkan dapat menemukan solusi efektif dan strategis untuk menghadapi tantangan ini, agar ekonomi Indonesia dapat kembali ke jalur pertumbuhan yang positif.