
Indeks harga saham gabungan (IHSG) kembali mengalami penurunan yang signifikan pada Jumat, 21 Maret 2025. Setelah dua hari berturut-turut mengalami penguatan, IHSG justru merosot 1,94% atau 123,49 poin, menutup perdagangan di angka 6.258,18. Penurunan tajam ini dipicu oleh aksi jual besar-besaran terhadap saham-saham blue chip, khususnya yang berada di sektor perbankan.
Menurut laporan dari Eastspring Investments, tekanan utama terhadap IHSG berasal dari pelemahan serius pada saham-saham berkapitalisasi besar, yang tercermin jelas melalui penurunan indeks LQ45 sebesar 2,56%. Salah satu penyebab utama dari penurunan ini adalah saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), yang terpuruk hingga 5,67%. Proses pengurangan nilai saham BBCA kebetulan terjadi bersamaan dengan tanggal ex-dividen, di mana harga saham sering kali mengalami penyesuaian seiring dengan distribusi dividen kepada pemegang saham.
Selain BBCA, beberapa saham lain juga ikut menekan IHSG, seperti saham PT DCI Indonesia Tbk (DCII) yang terjatuh 8,82%, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) yang menurun 4,55%, PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN) yang terdepresiasi 6%, dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) yang turun hingga 7,60%. Situasi ini menunjukkan adanya ketidakpastian di kalangan investor yang berpengaruh langsung terhadap pengambilan keputusan di pasar modal.
Tekanan jual yang signifikan ini juga seiring dengan kekhawatiran yang mengemuka menjelang Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) bank-bank BUMN yang dijadwalkan pada pekan depan. Para pelaku pasar mencermati kemungkinan adanya perubahan manajemen yang dapat memberikan dampak signifikan terhadap arah strategi bisnis masing-masing bank, serta memengaruhi kepercayaan investor terhadap saham-saham tersebut.
Dalam konteks yang lebih luas, pasar saham Indonesia juga dipengaruhi oleh kondisi eksternal. Ketidakpastian terkait kebijakan tarif timbal balik yang akan diterapkan oleh Amerika Serikat, efektif mulai 2 April 2025, menciptakan kekhawatiran di kalangan investor. Selain itu, rencana tarif tambahan yang diumumkan oleh Presiden AS Donald Trump pada sejumlah sektor juga dapat memengaruhi prospek pertumbuhan ekonomi global, yang pada gilirannya dapat berdampak pada pasar saham domestik.
Sementara itu, depresiasi nilai tukar rupiah juga memberi sinyal bahwa situasi pasar sedang tidak menguntungkan. Nilai tukar rupiah melemah 0,10%, mencapai level Rp 16.502 per dolar AS, dan ada arus keluar investor asing yang berdampak pada pasar obligasi, di mana imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun naik 6 basis poin menjadi 7,17%.
Eastspring Investments mencatat bahwa dalam kondisi pasar yang volatile, banyak investor cenderung memilih untuk bersikap “wait and see” menjelang libur panjang Idulfitri dan pelaksanaan RUPS bank-bank BUMN. Prediksi lebih lanjut mencerminkan harapan bahwa jika ketidakpastian global mereda dan sentimen domestik membaik, IHSG yang saat ini tertekan berpotensi untuk kembali menguat.
Situasi ini menjadi perhatian bagi banyak investor, terutama mengingat peranan sektor perbankan yang sangat signifikan di pasar modal Indonesia. Dengan adanya perubahan dan tantangan yang dihadapi saat ini, pelaku pasar harus tetap waspada dan memantau perkembangan yang terjadi untuk menghindari risiko yang lebih besar di masa mendatang.