
Mata Muhyiddin, seorang mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN), terlihat terpaku saat menyaksikan penjelasan mengenai sains di balik pemantauan hilal oleh astronom Muhammad Yusuf dari Observatorium Bosscha. Penjelasan tersebut menjawab berbagai pertanyaan yang selama ini bergelayut di benak Muhyiddin dan juga ribuan peserta lainnya mengenai penentuan awal Ramadan melalui Sidang Isbat yang diadakan oleh Kementerian Agama (Kemenag).
Tanya jawab seputar Sidang Isbat ini sangat penting, terutama bagi pemuda yang ikut dalam acara "Catch the Moon", yang bertujuan untuk memberikan wawasan lebih dalam tentang metode penentuan awal bulan kalendar hijriah. Sekitar 1.000 peserta dari berbagai elemen, mulai dari organisasi keagamaan hingga masyarakat umum, hadir dalam acara ini yang berlangsung baik secara daring maupun luring.
Metode penentuan awal bulan hijriah sering kali menjadi sumber perdebatan karena perbedaan cara antara berbagai organisasi Islam. Dalam perbincangan tersebut, Muhammad Yusuf menjelaskan bagaimana bulan sebagai satelit alami Bumi mengalami perubahan penampakan setiap saat. Penampakan hilal, atau bulan sabit, menjadi penanda penting untuk memasuki bulan baru, termasuk Ramadan.
Ada tiga metode utama yang sering digunakan di Indonesia untuk menentukkan awal bulan hijriah:
Rukyatul Hilal: Proses ini melibatkan pengamatan langsung hilal saat matahari terbenam pada tanggal 29 bulan kamariah. Jika hilal tidak terlihat, bulan digenapkan menjadi 30 hari.
Hisab Wujudul Hilal: Metode ini mengandalkan perhitungan astronomis untuk menentukan posisi bulan. Bulan baru dimulai jika pada hari ke-29 saat matahari terbenam, kondisi astronomis tertentu terpenuhi.
- Imkanur Rukyat: Menggunakan kriteria yang ditetapkan oleh MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura), metode ini memperhitungkan aspek ketinggian dan elongasi hilal.
Perbedaan dalam penerapan metode-metode ini menjadi salah satu penyebab keterlambatan dan perbedaan dalam penentuan awal bulan antara satu kelompok dengan yang lainnya.
Dalam Sidang Isbat, pertanyaan klasik muncul: mengapa pemerintah tidak hanya menggunakan satu metode, seperti hisab? Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag, Abu Rokhmad, menekankan pentingnya integrasi antara hisab dan rukyat. Hal ini bukan sekadar formalitas tetapi merupakan pendekatan ilmiah dan syariat yang saling melengkapi. Rukyat berfungsi sebagai verifikasi visual dari hasil hisab, menegaskan bahwa setiap metode memiliki keabsahan masing-masing dalam konteks syariat.
Sidang Isbat bukan sekadar acara ceremonial, melainkan sebuah forum resmi yang menentukan awal bulan hijriah dengan dasar metode ilmiah dan syariah. Melalui acara ini, masyarakat mendapatkan kepastian untuk menjalankan ibadah puasa, termasuk Idul Fitri. Selain itu, acara ini juga menunjukkan bahwa sains dan agama dapat berkolaborasi, memperlihatkan bahwa pengetahuan ilmiah dapat dipadukan dengan kearifan agama.
Integrasi ilmu yang terjadi selama proses penentuan awal bulan ini membuktikan bahwa pengetahuan yang bersumber dari Yang Maha Kuasa bisa dijelaskan dan diterapkan oleh manusia dengan bantuan teknologi. Melalui pemahaman ilmu falak dan astronomi, diharapkan diskusi tentang penentuan awal bulan tidak hanya berfokus pada perbedaan metode, tetapi juga pada kemajuan ilmu pengetahuan yang terus berkembang.
Dengan demikian, Sidang Isbat menjadi penting tidak hanya untuk kepastian ibadah, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan terhadap keragaman metode yang dianut dalam dunia Islam, menciptakan diskusi yang lebih mendalam tentang hubungan antara agama dan sains.