
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkapkan adanya peluang strategis bagi Indonesia untuk memperluas ekspor produk padat karya seperti pakaian dan alas kaki ke Amerika Serikat (AS). Peluang ini muncul setelah diterapkannya kebijakan tarif resiprokal oleh pemerintah AS yang memberikan tarif impor mencapai 32 persen untuk Indonesia. Dengan tarif ini, Indonesia berada di posisi lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan negara-negara pesaing lainnya seperti Vietnam, Bangladesh, dan Kamboja yang memiliki tarif lebih tinggi, yakni masing-masing 46 persen, 37 persen, dan 49 persen.
“Penetrasi pasar ini bermanfaat besar bagi ekonomi Indonesia karena memiliki multiplier effect besar secara penciptaan lapangan kerja untuk sektor padat karya,” ujar Airlangga dalam acara Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden Republik Indonesia di Jakarta pada Selasa, 8 April 2025. Tarik menarik ini memberi celah bagi Indonesia untuk mengambil alih pangsa pasar ekspor serta meningkatkan daya saing di sektor pakaian dan alas kaki.
Menurut Airlangga, situasi saat ini menunjukkan bahwa Indonesia berada di bawah negara pesaing dalam pasar AS. Namun, kejadian ini juga dianggap sebagai kesempatan, mengingat sektor tersebut tidak masuk dalam kategori strategis bagi AS, yang menciptakan ruang untuk negosiasi terkait tarif. Airlangga mengestimasi bahwa jika Indonesia berhasil meningkatkan pangsa pasar sebesar 10 persen dibandingkan dengan negara pesaing lainnya, potensi tambahan devisa yang dapat diraup akan mencapai sekitar 6,4 miliar dolar AS.
Selain itu, untuk merespons kebijakan tarif tersebut, pemerintah Indonesia juga telah menyiapkan langkah-langkah reformasi struktural yang dituangkan dalam paket deregulasi. Beberapa kebijakan tersebut meliputi penyederhanaan perizinan usaha, reformasi perizinan ekspor-impor, serta perbaikan kebijakan non-tarif seperti Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) dan sertifikasi halal.
“Dukungan dari industri global juga menunjukkan ketertarikan mereka untuk bermitra dengan Indonesia. Beberapa perusahaan besar seperti Nike bahkan telah meminta pertemuan daring dengan pemerintah Indonesia,” lanjut Airlangga. Hal ini membuktikan bahwa ada minat yang tinggi dari pihak luar untuk berinvestasi dan bekerjasama dengan Indonesia, khususnya dalam sektor padat karya.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, juga menegaskan pentingnya Indonesia untuk merebut peluang ekspor dari negara-negara yang terkena tarif tinggi. Menurutnya, Indonesia bisa mengalami keuntungan dari keadaan ini karena beberapa negara seperti Vietnam, Bangladesh, Thailand, China sudah dikenakan tarif yang lebih tinggi oleh AS. Namun, Sri Mulyani juga mengingatkan bahwa tantangan tetap ada, terutama dari negara-negara seperti Filipina, Malaysia, Korea Selatan, dan India yang memiliki tarif lebih rendah daripada Indonesia.
Kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan oleh pemerintahan AS, sebelumnya dinyatakan oleh Presiden Donald Trump, bertujuan untuk menciptakan lebih banyak lapangan kerja domestik. Ia dan para pejabat pemerintahnya berpendapat bahwa AS selama ini dirugikan oleh praktik perdagangan yang dianggap tidak adil oleh negara-negara mitra dagangnya. Dengan pertimbangan ini, potensi pengenaan tarif tinggi terhadap produk ekspor Indonesia sangat krusial, mengingat AS merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia. Kebijakan tersebut bisa berdampak signifikan bagi kinerja ekspor nasional.
Lebih lanjut, Presiden Prabowo Subianto sudah mengisyaratkan akan mengirimkan utusan untuk melakukan perundingan dengan AS. Diplomasi ini diarahkan untuk meminimalkan dampak negatif dari kebijakan tarif tersebut terhadap kepentingan ekonomi Indonesia. Proses perundingan yang setara dan adil diharapkan dapat menjaga hubungan baik antara Indonesia dan AS, dan mencari solusi yang saling menguntungkan. “Indonesia perlu menyampaikan argumentasi yang kuat mengenai pentingnya hubungan dagang yang sehat dan saling menguntungkan bagi kedua belah pihak,” ungkap Prabowo.
Dengan demikian, tarif resiprokal AS ini diharapkan dapat menjadi angin segar bagi ekspor padat karya Indonesia, membuka peluang pasar yang lebih luas dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.