Ketegangan perdagangan global saat ini menciptakan tantangan besar bagi pebisnis di Indonesia. Dengan penerapan tarif baru dari Amerika Serikat terhadap produk-produk negara berkembang, situasi ekonomi semakin tidak menentu. Dalam menghadapi keterpurukan nilai tukar rupiah, perlambatan investasi teknologi, dan lonjakan biaya operasional, para pengusaha harus siap beradaptasi dan menyusun strategi yang lebih efektif.
Memasuki tahun 2025, berikut lima hal penting yang harus diwaspadai pebisnis untuk menjaga akuisisi dan retensi pelanggan.
Pertama, biaya akuisisi pelanggan (Customer Acquisition Cost/CAC) yang terus meningkat. Dalam lima tahun terakhir, CAC mengalami lonjakan lebih dari 60%. Pelanggan kini lebih selektif dalam memilih merek, sementara pasar customer engagement diperkirakan tumbuh dari USD 22,3 miliar pada 2024 menjadi USD 48,5 miliar pada 2032. Hal ini mendorong perusahaan untuk merancang strategi akuisisi yang tidak hanya efisien tetapi juga menawarkan nilai tinggi.
Kedua, loyalitas pelanggan semakin rapuh di era digital. Penelitian menunjukkan bahwa 80% konsumen lebih memilih merek yang dapat memberikan pengalaman personalisasi. Namun, banyak perusahaan masih mengalami kesulitan dalam memenuhi harapan pelanggan akan layanan yang cepat, personal, dan konsisten. Tanpa strategi engagement yang kuat, satu pengalaman buruk dapat membuat pelanggan beralih ke pesaing.
Ketiga, fragmentasi channel tetap menjadi hambatan signifikan. Banyak tim bisnis masih bergantung pada berbagai alat terpisah untuk marketing, sales, dan customer service. Ini mengakibatkan data yang tidak terintegrasi dan respons terhadap kebutuhan pelanggan yang lambat. Perusahaan dengan strategi omnichannel yang kuat mampu mempertahankan hingga 89% pelanggannya, jauh di atas rata-rata industri.
Keempat, keterbatasan integrasi antar tim yang berinteraksi langsung dengan pelanggan. Ketika tim sales dan dukungan beroperasi dalam silo, peningkatan risiko miskomunikasi dan duplikasi kerja dapat terjadi. Hal ini tidak hanya memperlambat proses bisnis, tetapi juga menciptakan pengalaman pelanggan yang tidak konsisten, merusak kepercayaan jangka panjang.
Kelima, tekanan ekonomi memaksa perusahaan untuk melakukan efisiensi tanpa mengorbankan pengalaman pelanggan. Di tengah tarif yang ditetapkan AS, depresiasi rupiah, dan biaya impor yang melonjak, pemanfaatan teknologi berbasis AI menjadi semakin penting. Teknologi ini dapat meningkatkan personalisasi layanan, mempercepat respons, serta memperkuat retensi pelanggan dengan biaya yang lebih terjaga. Pertumbuhan pasar CRM di Indonesia diperkirakan dari USD 1,47 miliar pada 2025 menjadi USD 1,91 miliar pada 2030, sejalan dengan percepatan digitalisasi bisnis.
Melihat tantangan-tantangan ini, kebutuhan akan solusi bisnis yang efisien, adaptif, dan menyeluruh semakin mendesak. Perusahaan perlu beralih dari penggunaan alat yang terfragmentasi menjadi platform yang mampu mengintegrasikan seluruh proses bisnis dalam satu ekosistem terpadu.
Mekari Qontak, misalnya, mengenalkan reposisi strategis untuk tahun 2025. Dari awalnya dikenal sebagai platform CRM dan Omnichannel, Mekari Qontak kini bertransformasi menjadi Intelligent Customer Platform. Berdasarkan pernyataan Brendan Rakhphongphairoj, Chief Marketing Officer Mekari, reposisi ini bertujuan untuk mendukung pertumbuhan produktif di tengah tekanan biaya dan ekspektasi pelanggan yang meningkat.
Dengan integrasi kecerdasan buatan, otomasi proses, dan alur kerja yang fleksibel, Mekari Qontak menawarkan alternatif yang strategis terhadap penggunaan alat yang terfragmentasi. Hal ini membantu perusahaan membangun keterlibatan pelanggan yang berkelanjutan di tengah persaingan yang semakin ketat dan dinamis. Adaptasi yang tepat dan penggunaan teknologi canggih akan menjadi kunci bagi pebisnis dalam menghadapi tantangan yang ada sekaligus memastikan keberlangsungan dan pertumbuhan bisnis di tahun-tahun mendatang.