2025: Penindasan Tiongkok Terhadap Falun Gong Makin Memprihatinkan

Beijing, Octopus – Tahun 2025 menyaksikan peningkatan tajam dalam penindasan terhadap praktisi Falun Gong di Tiongkok. Menurut laporan dari lembaga pengawas hak asasi manusia, Minghui, selama dua bulan pertama tahun ini, setidaknya 136 praktisi Falun Gong telah ditangkap dan sekitar 189 lainnya mengalami pelecehan oleh otoritas Tiongkok. Angka-angka ini menunjukkan bahwa Partai Komunis Tiongkok (PKT) terus-snagkastika menggelar kampanye brutal untuk menekan kebebasan berkeyakinan dan sering kali melawan norma-norma hak asasi manusia internasional.

Falun Gong, yang dikenal juga sebagai Falun Dafa, adalah suatu latihan spiritual yang menyatukan meditasi dan ajaran moral dengan menekankan prinsip kebenaran, kebaikan, dan kesabaran. Pada dekade 1990-an, gerakan ini berkembang pesat dan menarik jutaan pengikut di Tiongkok. Namun, meningkatnya jumlah anggota ini memicu kekhawatiran di kalangan pemimpin PKT, yang kemudian mencap Falun Gong sebagai ancaman serius. Pada tahun 1999, dengan pimpinan Jiang Zemin, PKT memulai tindakan keras secara luas, menyebut Falun Gong sebagai “aliran sesat” dan melancarkan kampanye penindasan yang sistematis.

Menurut data Minghui, pada bulan Januari 2025 saja, sebanyak 97 praktisi Falun Gong dikenai hukuman penjara yang berkisar antara enam bulan hingga sepuluh tahun, dengan rata-rata hukuman lebih dari tiga tahun. Selain itu, kebijakan denda yang berat juga diterapkan, mengakibatkan total denda mencapai ratusan ribu yuan. Proses peradilan terhadap mereka sering kali ditandai dengan ketidakjelasan dakwaan dan kurangnya transparansi, mencerminkan pola penyalahgunaan sistem hukum di Tiongkok.

Sementara itu, provinsi dengan jumlah penangkapan tertinggi di tahun 2025 meliputi Heilongjiang, Jilin, dan Hebei. Di wilayah-wilayah ini, banyak praktik penganiayaan dilakukan dengan cara kasar, di mana praktisi ditangkap hanya karena memiliki materi terkait Falun Gong atau berbagi informasi mengenai keyakinan mereka. Pengawasan ketat, termasuk penggunaan teknologi pengenalan wajah dan kecerdasan buatan, semakin memperburuk kondisi para praktisi.

Kisah tragis terjadi pada Li Minghua, seorang praktisi berusia 67 tahun dari Heilongjiang yang ditangkap tanpa peringatan. Keluarga Li belum menerima penjelasan terkait penahanannya, dan ia pun tidak diperbolehkan bertemu pengacara. Kasus serupa juga dialami Zhang Wei, yang ditangkap di Jilin saat membagikan pamflet tentang Falun Gong, dengan keberadaannya yang masih misterius hingga saat ini.

Selain penangkapan, tindakan pelecehan terhadap para praktisi Falun Gong meningkat dalam bentuk tekanan terhadap anggota keluarga mereka untuk meninggalkan keyakinan tersebut. Pihak berwenang sering mengancam dengan pencabutan pekerjaan atau tunjangan sosial untuk memaksa kepatuhan. Dalam lingkungan yang semakin terintegrasi dengan pengawasan, komunikasi dan organisasi antar praktisi juga menjadi semakin tertekan.

Metode penindasan yang diterapkan oleh PKT mencakup berbagai bentuk paksaan, mulai dari pemenjaraan hingga penyiksaan fisik dan psikologis. Ribuan praktisi Falun Gong dipenjara tanpa proses hukum yang jelas, jauh dari prinsip keadilan yang biasanya dijunjung tinggi. Laporan dari mantan tahanan menggambarkan tindakan kekerasan yang meliputi penyiksaan dengan alat listrik, kurang tidur, dan pemukulan. Selain itu, banyak yang dikhawatirkan menjadi korban pengambilan organ paksa, yang semakin mendukung industri transplantasi Tiongkok.

Meskipun banyak negara menyuarakan kecaman terhadap penganiayaan ini, respon internasional umumnya terbatas pada tindakan simbolis. Pemerintah Amerika Serikat berulang kali mengutuk perlakuan Tiongkok terhadap para praktisi Falun Gong, dan Parlemen Eropa bahkan mengeluarkan resolusi yang mengecam pengambilan organ secara paksa. Namun, dampak nyata dari tindakan ini terhadap kebijakan Tiongkok tetap minim, dan upaya global untuk melindungi kebebasan beragama semakin mendesak.

Kondisi yang semakin buruk bagi praktisi Falun Gong di Tiongkok menjadi pengingat nyata akan perjuangan berkelanjutan untuk hak asasi manusia dan kebebasan beragama. Ketidakberdayaan mendunia terhadap tindakan pemerintah Tiongkok berisiko menyebabkan lebih banyak individu menderita akibat penahanan yang tidak adil dan perlakuan kejam. Sementara itu, penindasan terhadap Falun Gong terus berlanjut, mencerminkan intoleransi mendalam terhadap kebebasan berpikir dan berkeyakinan, dan menyoroti perlunya upaya kolektif dari komunitas internasional untuk melindungi hak asasi manusia di Tiongkok.

Berita Terkait

Back to top button