
Ribuan warga Korea Selatan menggelar unjuk rasa di pusat kota Seoul pada hari Sabtu, menarik perhatian nasional seiring dengan meningkatnya tekanan terhadap Presiden Yoon Suk Yeol untuk mengundurkan diri. Aksi demonstrasi ini muncul menjelang keputusan yang diharapkan dari Mahkamah Konstitusi mengenai proses pemakzulan Yoon, yang diperintahkan setelah pengumuman penerapan darurat militer pada bulan Desember yang lalu.
Pengunjuk rasa anti-Yoon memenuhi jalan-jalan dekat pengadilan, membawa spanduk yang menyerukan pemecatan presiden konservatif tersebut. Laporan dari penyelenggara protes menyebutkan bahwa sekitar 1,1 juta orang berpartisipasi dalam demonstrasi, sementara pihak kepolisian memperkirakan jumlahnya hanya puluhan ribu. Jumlah yang signifikan ini menunjukkan betapa menguatnya ketidakpuasan publik terhadap kebijakan dan kepemimpinan Yoon.
Dalam aksi tersebut, para pengunjuk rasa meneriakkan slogan-slogan menuntut pemecatan dan pemenjaraan Yoon terkait penerapan darurat militer yang hanya berlangsung singkat pada tanggal 3 Desember. Kekuasaan Yoon ditangguhkan setelah Majelis Nasional yang dikuasai oleh oposisi memutuskan untuk memakzulkannya pada 14 Desember. Salah satu pemimpin protes menyatakan, “Kami tidak bisa menunggu satu hari pun. Ini adalah perintah dari warga negara kami — Mahkamah Konstitusi harus segera menyingkirkan Yoon Suk Yeol, pemimpin pemberontakan!”
Proses pemakzulan ini memerlukan dukungan dari setidaknya enam dari delapan hakim Mahkamah Konstitusi yang sedang bertugas. Apabila mereka tidak setuju dengan mosi pemakzulan, kekuasaan Yoon sebagai presiden akan kembali, yang menjadi titik cemas bagi banyak pendukung gerakan protes. Chung Sung-il, seorang pengunjuk rasa berusia 72 tahun, menyatakan keyakinannya bahwa pengadilan akan memutuskan untuk menghentikan Yoon, “100 persen.” Ia juga menambahkan, “Jika ia diangkat kembali, banyak hal berbahaya yang dapat terjadi.”
Di sisi lain, demonstrasi yang mendukung Yoon juga berlangsung di lokasi dekatnya, dihadiri oleh anggota Partai Kekuatan Rakyat dan pendukung setia Yoon. Mereka melambai-lambaikan bendera Korea Selatan dan Amerika Serikat, sambil menyerukan kembalinya kepemimpinan Yoon. Yoon Sang-hyun, anggota parlemen dari partai konservatif mengatakan bahwa penerapan darurat militer oleh Yoon adalah langkah yang diperlukan untuk melawan “kediktatoran legislatif” dari kaum liberal di Majelis Nasional yang menghalangi agenda politiknya. Pendukungnya berulang kali meneriakkan nama Yoon dan menuntut untuk membubarkan Majelis Nasional.
Yoon sendiri berargumen bahwa penerapan darurat militer diperlukan untuk menghadapi apa yang disebutnya sebagai oposisi liberal yang “anti-negara.” Ia berpendapat bahwa mayoritas legislatif kaum liberal tidak adil dalam menghalangi kebijakan dan tindakannya. Namun, keputusan untuk menerapkan darurat militer tersebut menjadi sorotan karena konstitusi Korea Selatan membatasi penggunaan kekuasaan seperti itu hanya dalam konteks perang atau keadaan darurat nasional.
Sikap kontroversial Yoon, termasuk tuduhan dakwaan pidana yang berkaitan dengan pemberontakan, telah menciptakan ketidakpastian dalam urusan dalam negeri serta diplomasi dan ekonomi negara. Hal ini menjadi ujian berat bagi demokrasi Korea Selatan yang telah berupaya keras untuk mempertahankan stabilitas sejak era kediktatoran militer yang berlangsung pada tahun 1980-an.
Jika Mahkamah Konstitusi menolak untuk mendukung permohonan pemakzulan terhadap Yoon, hal tersebut akan mengarah pada pemulihan kekuasaan presiden dalam waktu singkat, dan kemungkinan besar akan melebarkan lebih jauh perpecahan di masyarakat. Sebaliknya, jika pemakzulan dikabulkan, pemilihan presiden sela dapat dilaksanakan dalam waktu dua bulan ke depan, membuka kemungkinan perubahan signifikan dalam arah kebijakan politik negara. Kestabilan dan masa depan demokrasi Korea Selatan kini berada di ujung tanduk, menanti keputusan dari Mahkamah Konstitusi yang dapat mengguncang peta politik negeri tersebut.